Oleh: MELYUSTI SETIAWAN KEBKOLE, S.S
Staf Wakil Ketua Umum Eksekutif Nasional LMND Bidang SDA & SDM
Kesenjangan ekonomi merupakan salah satu faktor penyebab adanya penindasan yang seringkali terjadi dalam perspektif interseksional terhadap PRT (Pekerja Rumah Tangga) di Indonesia.
Kesenjangan ekonomi dan penindasan saling memperkuat satu sama lain, terutama bagi perempuan yang berasal dari kelompok sosial ekonomi yang rendah dan memiliki identitas lain yang marginal, seperti status sosial ekonomi, gender, ras, agama, etnis, atau latar belakang pendidikan, dll.
Kesenjangan tersebut dapat didefinisikan sebagai ketidaksetaraan dalam distribusi sumber daya ekonomi (seperti pendapatan, kekayaan, dan akses ke layanan publik) antara kelompok sosial yang berbeda.
Di Indonesia, kesenjangan ekonomi dan kelas sosial sangat signifikan dan berdampak pada kehidupan masyarakat. Masyarakat kelas sosial yang rendah seringkali mengalami penindasan yang bersifat interseksional.
Dalam teori interseksionalitas Kimberlé Crenshaw dalam buku “Demarginalizing the Intersection of Race and Sex: Crenshaw menyoroti pentingnya gerakan identitas dalam memperjuangkan hak-hak kelompok minoritas dan menekankan perlunya pengakuan atas pengalaman interseksional sebagai bagian dari upaya memperjuangkan keadilan sosial yang lebih luas.
Sedangkan dalam buku Sister Outsider Karya Audre Lorde, dia menolak untuk memisahkan berbagai aspek identitasnya dan mengalami pengalaman tersebut sebagai entitas terpisah satu sama lain. Sebaliknya, Lorde mengajukan bahwa semua aspek identitas dan pengalaman perempuan harus dipahami secara bersamaan dan terintegrasi dalam analisis dan tindakan nyata.
Teori interseksionalitas mendefinisikan bahwa ketidakadilan bukan hanya disebabkan oleh satu faktor seperti gender atau ras, melainkan oleh kombinasi dari banyak faktor yang saling berinteraksi.
Adapun Faktor-faktor itu seperti status sosial ekonomi, agama, etnis, latar belakang pendidikan, dan sebagainya dapat memperkuat ketidakadilan sosial dan kesenjangan ekonomi.
Teori ini dapat membantu mengidentifikasi dan menganalisis kekerasan dan diskriminasi interseksionalitas yang disebabkan oleh saling bersinggungan atau tumpang tindih dari beberapa faktor identitas yang dialami oleh PRT perempuan dari berbagai dimensi identitasnya.
Dalam konteks Indonesia, kelas sosial dapat mempengaruhi akses Perempuan terhadap pendidikan, kesehatan, lapangan kerja, dan pelayanan publik lainnya.
Teori interseksionalitas dapat menjelaskan mengapa kelompok minoritas yang berada dalam kelas sosial yang rendah, seringkali mengalami penindasan interseksional terutama yang bersinggungan langsung dengan perempuan.
PRT perempuan seringkali memiliki akses yang terbatas terhadap sumber daya ini, sehingga mereka lebih rentan terhadap kemiskinan, pengangguran, dan kesulitan ekonomi lainnya. Misalnya, orang yang berada dalam kelas sosial yang rendah dan beretnis minoritas dapat menghadapi kesulitan yang lebih besar dalam mendapatkan akses yang sama ke peluang pekerjaan, pelatihan, dan promosi karir atau pelayanan kesehatan karena diskriminasi rasial.
Berdasarkan data BPS (Badan Pusat Statistik), pada tahun 2021 terdapat 25,72 juta orang yang hidup di bawah garis kemiskinan di Indonesia, atau sekitar 9,55% dari total penduduk.
Sedangkan berdasarkan data Kementerian Kesehatan pada tahun 2020, terdapat kesenjangan yang signifikan antara akses kesehatan antara kelas sosial atas dan bawah di Indonesia. Misalnya, angka kematian bayi pada kelompok masyarakat berpenghasilan rendah mencapai 20,9 per 1.000 kelahiran hidup, sedangkan pada kelompok masyarakat berpenghasilan tinggi hanya 8,6 per 1.000 kelahiran hidup.
Dari data-data diatas, kita bisa mengambil kesimpulan sementara, bahwa kesenjangan di berbagai bidang diakibatkan oleh tidak adanya kepastian hukum yang mengakomodir keadilan sosial pada kelompok masyarakat yang berpenghasilan rendah
Data dari Kementerian Ketenagakerjaan, pada tahun 2020 terdapat sekitar 2,4 juta Pekerja Rumah Tangga di Indonesia, sekitar 80% di antaranya adalah perempuan.
Sebanyak 97% pekerja rumah tangga di Indonesia tidak mendapatkan hak asuransi kesehatan dan hanya 10% yang mendapatkan upah sesuai dengan UMK (Upah Minimum Kabupaten/Kota).
Secara sederhana dapat kita lihat beberapa contoh faktual lainnya yang sangat krusial terjadinya kesenjangan ekonomi dan penindasan terhadap Perempuan Pekerja Rumah Tangga di Indonesia antara lain:
Pertama; Kesenjangan Upah antara pekerja perempuan dan pekerja laki-laki. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) pada tahun 2021, upah perempuan di Indonesia hanya sebesar 84,2% dari upah laki-laki. Perbedaan ini terutama terjadi di sektor informal, di mana perempuan seringkali diberikan upah yang lebih rendah daripada laki-laki dengan pekerjaan yang sama
Kedua; Diskriminasi. Perempuan di Indonesia seringkali mengalami diskriminasi dan penindasan berdasarkan identitas mereka yang marginal, dengan memperhitungkan perspektif interseksional.
Ketiga; Kemiskinan Perempuan. Menurut data BPS pada tahun 2020, tingkat kemiskinan perempuan di Indonesia lebih tinggi daripada laki-laki. Proporsi perempuan miskin mencapai 11,2%, sedangkan laki-laki mencapai 10,6%.
Kesenjangan sosial dan ekonomi yang dialami oleh perempuan kemungkinan besar disebabkan oleh diskriminasi gender dan akses yang terbatas terhadap pendidikan dan kesempatan kerja yang sama.
Dalam konteks interseksional, hal ini mengakibatkan perempuan menjadi lebih rentan terhadap diskriminasi dan penindasan, dan sulit untuk mengakses sumber daya yang sama seperti kelompok lain dalam masyarakat.
PRT Perempuan yang berasal dari kelas sosial yang lebih rendah dan tidak memiliki status perlindungan yang spesifik dan sah dalam sebuah aturan pemerintah maupun UU, maka akan beresiko meningkatkan penindasan pada mereka.
Oleh karena itu, pemerintah dan masyarakat perlu terus mendorong peningkatan perlindungan dan penegakan hukum yang lebih efektif bagi Perempuan PRT.
Pengesahan RUU-PPRT; Solusi Kesenjangan Ekonomi dan Penindasan dalam Perspektif Interseksional
Perspektif interseksional dalam RUU-PPRT (Rancangan Undang Undang Perlindungan Pekerja Rumah Tangga) adalah pendekatan yang memperhatikan faktor-faktor kompleks yang mempengaruhi pengalaman dan hak-hak PRT yang beragam.
Pengesahan RUU ini penting dilakukan karena PRT perempuan seringkali mengalami diskriminasi dan marginalisasi berdasarkan beberapa faktor tersebut seperti yang telah diuraikan di atas.
Jika tidak, maka akan memperburuk kondisi pekerjaannya serta berpotensi menjadi korban kekerasan atau penindasan secara berkelanjutan.
Untuk itu, dengan disahkannya RUU PPRT, maka dapat menghindari penindasan terhadap PRT perempuan dalam perspektif interseksional. Berikut beberapa dampak positif yang dapat mengakomodir keberpihakan terhadap hak PRT Perempuan, diantaranya;
Pertama; Meningkatkan kesadaran dan pemahaman masyarakat tentang pentingnya mengakomodasi faktor-faktor kompleks dalam memberikan perlindungan dan penegakan hak-hak perempuan. Memberikan definisi yang jelas dan inklusif mengenai PRT perempuan, sehingga dapat memperoleh perlindungan yang merata tanpa adanya diskriminasi dengan memperhitungkan perspektif interseksional.
Kedua; Memperkuat pengawasan dan pengendalian terhadap praktik-praktik yang berpotensi menimbulkan diskriminasi terhadap PRT perempuan, seperti praktik pekerjaan yang membedakan upah berdasarkan jenis kelamin atau diskriminasi dalam hal cuti atau penerapan waktu kerja normal, petunjuk spesifikasi kerja yang jelas, serta hak-hak lainnya.
Ketiga; Menegakkan hukum dan sanksi yang tegas bagi pelaku diskriminasi dan kekerasan terhadap PRT perempuan yang rentan menjadi korban penindasan. Menetapkan sanksi yang tegas bagi majikan yang melakukan diskriminasi atau kekerasan memperhitungkan perspektif interseksional.
Keempat; Memberikan pendidikan dan pelatihan yang inklusif bagi semua perempuan PRT, mendorong penguatan peran perempuan di masyarakat, penghapusan diskriminasi rasial dan agama dalam akses terhadap sumber daya ekonomi dan kesempatan kerja, dengan memperhitungkan perspektif interseksional.
Oleh karena itu, dengan disahkannya RUU-PPRT sebagai kekuatan hukum untuk mengatur dan mengakomodasi perspektif interseksional dalam memberikan perlindungan hukum dan penegakan hak-hak PRT Perempuan di harapkan sebagai jalan keluar yang komprehensif dari kesenjangan ekonomi dan kelas sosial serta penindasan yang bersifat interseksional terhadap perempuan.
Pengesahan RUU ini sebagai solusi konkret guna mencapai masyarakat yang lebih adil dan merata dalam akses terhadap sumber daya ekonomi dan kesempatan hidup, penguatan peran perempuan di masyarakat serta penghapusan diskriminasi rasial, agama dalam akses terhadap sumber daya ekonomi dan kesempatan kerja, dan mempertimbangkan faktor-faktor lain yang dapat memperkuat ketidakadilan.
Dalam perspektif interseksional, ini dapat membantu mengurangi diskriminasi dan penindasan pada PRT dari berbagai dimensi identitas, yang akan memperkuat perlindungan dan pemberdayaan mereka.